Politik Suporter Sepakbola

fans

Sepakbola. Banyak yang menganggap sepakbola hanya olahraga, cuma permainan. It’s just a game, don’t take it too hard. Tapi buat sebagian orang, sepakbola adalah kehidupan. Makanya di Inggris ada slogan football is life, bahkan sampai dibuat lagu.

Sebab sepakbola adalah kehidupan maka terkadang this beautiful game juga tidak terlepas dari politik atau pandangan/mazhab tertentu. Pengejawantahan pandangan politik seringkali dilakukan oleh para suporter.

Kalau di Indonesia sih seringnya politisasi suporter. Kalau mau jadi gubernur DKI Jakarta, rangkul Jak Mania. Kalau mau jadi walikota Bandung, dekati hati Bobotoh. Mau jadi walikota Surabaya ya cangkrukan sana sama Bonek. Tidak disangkal bahwa suporter sepakbola merupakan kantung suara yang lumayan sebagai legitimasi kursi pemimpin daerah.

Tapi di belahan bumi lainnya, politisasi suporter sudah jauh berbeda. Kelompok suporter jadi basis pandangan politik tertentu, yang kadang bersebarangan dengan klub lainnya. Oleh karena itu, tidak jarang sebuah pertandingan sepakbola lebih mirip aksi demonstrasi dengan spanduk atau orasi bernada politis.

Ambil contoh rivalitas klasik di Belanda antara Ajax Amsterdam dan Feyenord Rotterdam. Sejak lahir, sebagian orang Amsterdam dan Rotterdam dibesarkan dengan stereotip negatif. Amsterdamers menilai Rotterdamers sebagai orang kasar, kampungan, kuli pelabuhan, dan semacamnya. Sementara Rotterdamers melihat Amsterdamers layaknya orang kota yang manja, cengeng, doyan hura-hura, hedon, yang begitu-begitu lah. Tapi di tingkat rivalitas klub sepakbola, ada hal lain yang membumbui hubungan Ajax-Feyenord.

Sampai saat ini, Ajax mendapat cap sebagai klub Yahudi. Ketika Ajax mentas, tidak jarang suporter Feyenord berteriak “Jooden! Jooden!” atau “Hamas! Hamas!”. Bendera Palestina juga sesekali terlihat di antara suporter Feyenord, sebagai lambang perlawanan terhadap Yahudi Israel.

Padahal, populasi Yahudi di Amsterdam hanya sekitar 10%. Namun memang Amsterdam sejak 300-an tahun dikenal sebagai pusat tempat tinggal pemeluk Yahudi di Negeri Kincir Angin. Amsterdam menjadi incaran utama kala Nazi Jerman menduduki Belanda, dan kala itu sebagian besar dari populasi Yahudi di Amsterdam mengungsi, ditempatkan di kamp konsentrasi, dibunuh, atau menghilang.

Cap sebagai kota Yahudi sudah terlanjur melekat di Amsterdam sampai sekarang. Lingkungan di sekitar AmsterdamArena saat ini juga banyak dihuni oleh orang Yahudi. Akibatnya, suporter tim lawan (khususnya Feyenord) mengejek Ajax dengan julukan Joodenklub. Entah menegaskan atau mencoba melawan ejekan dengan ejekan yang lebih keras, suporter Ajax juga ada yang menjuluki klub kesayangannya Super Jooden. Seakan membalas bendera Palestina, mereka juga beberapa kali tersorot mengibarkan bendera Bintang Daud.

Pandangan politik anti-semit ini bertahan sampai sekarang. Meski KNVB, Uefa, dan Fifa sudah berulang kali menegaskan ranah politik tidak boleh dibawa ke sepakbola, tetap saja suporter Ajax dan Feyenord keukeuh bin ndablek. Bumbu anti-semit masih mewarnai persaingan dua klub tersukses di negeri anak-cucu kumpeni ini.

Faham anti-semit juga berkembang melalui gerakan sayap ultra kanan Neo Nazi. Di Eropa, faham Neo Nazi memiliki simpatisan dan beberapa di antaranya menjangkiti klub sepakbola. Bahkan di Jerman, yang punya luka sangat mendalam akibat keberingasan Third Reich, paham Neo Nazi masih saja bisa hidup dan berkembang.

Salah satunya di barisan suporter Borussia Dortmund. Mengutip USA Today, dilaporkan bahwa setidaknya ada 100 simpatisan Neo Nazi di antara 24.000 fans di tribun selatan yang secara rutin hadir di Signal Iduna Park.

“Kami meyakini bahwa ada beberapa ekstremis sayap kanan di antara suporter. Namun, pihak berwajib menyatakan tidak melihat penambahan jumlah yang signifikan dari mereka meski ada beberapa insiden,” sebut pernyataan resmi klub.

Contoh lain suporter sepakbola yang erat dengan Neo Nazi adalah dari klub Karpaty Lviv (Ukraina). Tidak hanya alergi terhadap orang Yahudi, suporter Karpaty Lviv juga sangat chauvinistik. Mereka mengganggap dirinya yang terbaik dan anti orang asing.

Pamor suporter Karpaty Lviv sudah cukup menggema di Eropa. Laporan Deutsche Welle menyebutkan bahwa mereka punya reputasi sebagai pengikut Neo Nazi garis keras dan gerombolan bandit nasionalis. Bahkan jika mampu, seorang pemain asing di klub akan diusir pulang ke negara asalnya.

“Pemain harus berasal dari tempat di mana dia bermain. Dia harus mengerti tradisi dan sejarah negara ini,” tegas Oleg Sigal, pentolan suporter Karpaty Lviv.

Bendera berlogo swastika juga kerap eksis di kerumunan pendukung Karpaty Lviv. Selain itu, mereka juga pernah membentangkan spanduk penghormatan terhadap 14th Waffen Grenadier Division, salah satu kesatuan di SS Nazi Jerman yang dibentuk di Ukraina.

Ketika ada sayap kanan, tentunya ada sayap kiri. Di sepakbola,ada juga suporter yang mengidentikkan dirinya dengan ideologi kiri, yang di Indonesia masih menjadi bahaya laten.

Klub yang paling kiri di dunia mungkin adalah St Pauli (Jerman). Klub dan suporter klub yang berbasis di pinggiran Hamburg ini terkenal (dan bangga) dengan label kiri. Mereka juga dikenal sangat anti fasis dan terbuka mempromosikan hak-hak minoritas.

St Pauli memiliki falsafah dasar yang berbau sangat kiri. Berikut falsafah dasar dari St Pauli:

  1. St Pauli FC adalah bagian dari rakyat sehingga bisa terpengaruh terhadap dinamika politik, sosial, dan budaya yang dialami rakyat.
  2. St Pauli FC menyadari kewajiban dan menjunjung tinggi kepentingan anggota, staff, fans, dan masyarakat tidak hanya terkait dengan urusan olahraga.
  3. St Pauli FC adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kota, sehingga memiliki identitas kota. Ini membuat klub memiliki tanggung jawab sosial-politik kepada rakyat kota.
  4. Toleransi dan saling menghormati adalah pilar penting dari FC St Pauli.

Klub yang kiri tentu punya fans yang kiri juga. Fans St Pauli tersohor punya prinsip anti-rasis, anti-fasis, anti-seksis, anti-homofobik, dan sebagainya. Mereka punya prinsip “dari kita, oleh kita, untuk kita” dan memiliki keterlibatan kuat dalam kehidupan klub. Fans lah yang menyelamatkan St Pauli dari kebangkrutan dengan menggelar acara penggalangan dana bertajuk Drink for St Pauli. Setengah dari hasil penjualan bir didonasikan kepada klub. Satu bumi, satu kelas, kita buat seperti surga…

Selain St Pauli, ada pula suporter lain yang berhaluan kiri yaitu AS Livorno (Italia). Maklum, kota Livorno adalah tempat kelahiran partai komunis Italia pada 1921. Fans AS Livorno pun lekat dengan ideologi ini. Bahkan mereka rutin mengadakan acara peringatan hari ulang tahun Josef Stalin. Bendera besar bergambar palu-arit juga kerap terpampang di stadion Armando Picchi.

Livorno tidak sendirian. Bersama Marseille (Prancis) dan AEK Athens (Yunani), terbentuk persaudaraan segitiga antara perkumpulan suporter. Ketiganya memiliki kesamaan idelogis, komunisme.

Yah, sepakbola memang cuma olahraga 11 orang berebut kulit bundar. Tapi olahraga ini memegang status sebagai yang paling banyak penggemarnya di kolong atmosfer. Oleh karena itu, tidak heran politik juga merasuki sepakbola. Entah untuk kepentingan mencari jabatan, melanggengkan kekuasaan, merebut kekuasaan, melestarikan ideologi, apapun lah.

Apalagi fans sepakbola juga manusia yang punya nalar dan pikiran. Dinamika sebuah negara atau kota akan tercermin dalam kesadaran kolektif masyarakatnya, termasuk suporter sepakbola. Makanya masuknya ideologi tertentu di barisan suporter sepakbola tidak akan bisa terhindarkan. Sekeras apapun FIFA melarang, jika dunia masih berputar maka politik di kalangan suporter sepakbola akan tetap langgeng. (@hidayatsetiaji)

2 pemikiran pada “Politik Suporter Sepakbola

Tinggalkan komentar